Paradoks Pilihan: Saat Banyak Opsi Justru Bikin Bingung

22 Sep 2025 | QIA Solution

Paradoks Pilihan: Saat Banyak Opsi Justru Bikin Bingung

Pernah bingung memilih film di Netflix sampai akhirnya tidak menonton apa pun? Atau membuka aplikasi GoFood saat lapar, tapi justru waktu habis karena scrolling menu? Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan sehari-hari, melainkan sebuah gejala psikologis yang disebut Paradoks Pilihan. Artikel ini membahas apa itu paradoks pilihan, kenapa bisa terjadi, dan bagaimana cara mengatasinya.

 

Apa Itu Paradoks Pilihan?

Paradoks Pilihan (Paradox of Choice) adalah kondisi ketika terlalu banyak pilihan justru membuat orang merasa bingung, cemas, bahkan tidak puas dengan keputusan yang sudah diambil. Psikolog Barry Schwartz mempopulerkan konsep ini dalam bukunya The Paradox of Choice: Why More Is Less (2004). Intinya, semakin banyak pilihan yang tersedia, tidak selalu membuat hidup lebih mudah atau menyenangkan justru bisa jadi beban.

  1. Aplikasi Streaming
    Layanan seperti Netflix, Disney+ Hotstar, atau Vidio menghadirkan ribuan film dan serial. Alih-alih langsung menonton, banyak orang mengaku menghabiskan waktu lama untuk memilih. Hasilnya? Menonton ulang drama lama atau menyerah tanpa menonton apa pun.
  2. Aplikasi Pesan Antar Makanan
    Platform seperti GoFood atau GrabFood penuh dengan ribuan pilihan. Namun sering kali, pengguna malah menghabiskan waktu 15–20 menit menggulir menu, lalu akhirnya memesan ayam geprek atau nasi goreng yang sama seperti kemarin.
  3. Ecommerce
    Marketplace seperti Tokopedia, Shopee, atau Lazada membuat belanja jadi mudah. Tapi mencari kaos polos sederhana bisa menghasilkan ratusan opsi, yang justru membuat orang takut salah pilih.
  4. Karier Anak Muda
    Generasi muda Indonesia kini menghadapi banyak opsi karier: PNS, kerja di korporasi, jadi freelancer, atau merintis startup. Banyak yang merasa buntu karena takut salah langkah.
  5. Aplikasi Kencan
    Tinder atau Tantan menawarkan banyak calon pasangan. Tapi terlalu banyak opsi kadang membuat orang sulit berkomitmen, karena selalu ada pikiran “siapa tahu ada yang lebih baik lagi.”

 

Mengapa Bisa Terjadi?

Beberapa mekanisme psikologis yang mendasari fenomena ini:

  • Beban kognitif: semakin banyak opsi, semakin besar pula energi mental yang terkuras untuk membandingkan.
  • Takut salah pilih: kita khawatir ada pilihan lain yang lebih baik.
  • Penyesalan: setelah memilih, sering muncul pikiran “seharusnya aku pilih yang lain.”

Studi klasik Iyengar & Lepper (2000) mendukung hal ini: orang lebih jarang membeli ketika ditawarkan 24 pilihan selai dibandingkan hanya 6 pilihan. Fenomena ini mirip dengan pengalaman konsumen Indonesia di marketplace: semakin banyak variasi, semakin lama waktu memilih, bahkan bisa berujung tidak jadi membeli.

 

Dampak dalam Kehidupan

  • Waktu terbuang: orang lebih banyak memilih daripada menikmati hasilnya.
  • Stres & kecemasan: terutama pada generasi muda yang takut salah mengambil keputusan.
  • Kepuasan berkurang: meski sudah memilih, banyak orang tetap merasa tidak puas.

 

Tips Mengatasi Paradoks Pilihan

  1. Batasi pilihan sendiri: gunakan filter di aplikasi atau tentukan daftar favorit.
  2. Tentukan kriteria: misalnya harga, kualitas, atau kecepatan.
  3. Gunakan prinsip “cukup baik” (satisficing): tidak semua hal harus sempurna.
  4. Percayai intuisi: kadang pilihan cepat justru lebih tepat.
  5. Batasi waktu memilih: agar tidak terjebak terlalu lama.

 

Kesimpulan

Paradoks pilihan nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan mengingatkan kita bahwa lebih banyak opsi tidak selalu berarti lebih baik. Di era digital, fenomena ini mudah ditemukan dalam hiburan, belanja online, makanan, hingga keputusan besar seperti karier. Solusinya bukan menghindari pilihan, melainkan belajar membatasi diri, menentukan prioritas, serta merasa cukup dengan keputusan yang baik meskipun tidak sempurna. Dengan begitu, kita bisa lebih menikmati hidup tanpa terbebani rasa takut salah pilih. 

 

Referensi

  • Wikipedia bahasa Indonesia. (2021, 10 Maret). The Paradox of Choice: Mengapa Lebih itu Kurang.
    https://id.wikipedia.org/wiki/The_Paradox_of_Choice:_Mengapa_Lebih_itu_Kurang
  • Iyengar, S. S., & Lepper, M. R. (2000). When choice is demotivating: Can one desire too much of a good thing? Journal of Personality and Social Psychology, 79(6), 995–1006.
    https://doi.org/10.1037/0022-3514.79.6.995
  • Desinta, C., Novandari, W., & Pradisti, L. (2023). Much to choose, too confused to decide: Investigating customer confusion as a mediator of information overload and decision postponement. Jurnal Akuntansi, Ekonomi dan Manajemen Bisnis, 11(3), 7320–7335.
    https://researchhub.id/index.php/jaem/article/download/7320/4126/23861
  • Rabbani, R. P. A. (2024). Paradox of choice: Terlalu berlebihan adalah kekurangan. Universitas Widyatama.
    https://www.researchgate.net/publication/389522754_PARADOX_OF_CHOICE_TERLALU_BERLEBIHAN_ADALAH_KEKURANGAN
  • Institut Agama Katolik Negeri St. Yohanes Penginjil (IAK Setih Setio). (2023, Oktober 18). Mengenal paradox of choice, ketika kelebihan pilihan menjadi bumerang.
    https://iaksetihsetio.ac.id/mengenal-paradox-of-choice-ketika-kelebihan-pilihan-menjadi-bumerang/